Ibadah puasa merupakan ibadah yang unik dan istimewa. Keunikan puasa sebagai ibadah yang tersembunyi sekaligus menguji kejujuran dan rasa malu diri sendiri (as-shidiqul iradah dan al Haya` al imaniyah).
Karena sifatnya tersembunyi, sehingga bisa saja seorang berpuasa, tapi diduga tidak berpuasa atau sebaliknya, tidak berpuasa justeru dianggap berpuasa.
Ketersembunyian ibadah puasa sama dengan ketersembunyian “keihklasan” yang tidak seorang pun mengetahui hakikatnya.
Dan puasa menjadi istimewa karena diawasi langsung oleh Allah swt serta segala pahalanya Allahsendiri yang membalas-Nya. Sehingga puasa benar-benar menjadi metode (cara) yang jitu bagi orang beriman untuk mengukur tingkat kedekatan dirinya dengan Allah swt dan integritas kejujuran diri. Serta berpuasa dapat menjaga rasa malu sebagai makhluk yang dianugerahi akal sehat.
Apakah dengan puasa kita semakin malu dengan Allah swt atau sebaliknya justru semakin malu-maluin perilaku kita dihadapan Allah swt. Atau puasa ramadhan sekedar rutinitas ibadah tahunan yang dampaknya tak lebih dari sekedar menahan rasa dahaga dan lapar semata.
Sifat malu yang kita miliki hakikatnya adalah kebaikan dan membawa diri kita kepada keselamatan serta menjaga diri kita dari sikap tama` (serakah). Merasa malu jika melakukan apapun yang dilarang Allah swt dan merasa malu jika mengabaikan apapun yang diperintah Allah swt adalah bagian dari cabang pokok keimanan seseorang.
Malu adalah sifat atau perasaan yang membentengi seseorang dari melakukan yang rendah atau kurang sopan. Agama Islam memerintahkan pemeluknya memiliki sifat malu karena dapat meningkatkan akhlak seseorang menjadi tinggi. Orang yang tidak memiliki sifat malu, akhlaknya akan rendah dan tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya.
Sifat malu merupakan ciri khas akhlak dari orang beriman. Orang yang memiliki sifat ini jika melakukan kesalahan atau yang tidak patut bagi dirinya maka akan menunjukkan rasa penyesalan. Sebaliknya, orang yang tidak memiliki rasa malu, merasa biasa saja ketika melakukan kesalahan dan dosa, walaupun banyak orang lain yang mengetahui apa yang telah dilakukannya.
Melalui ibadah puasa ramadhan selain untuk meraih predikat hamba yang muttaqiin. Tentunya puasa juga menjaga sifat dan rasa malu kita kepada Allah swt yaitu malu jika puasa kita ternoda dengan perilaku maksiat atau malu jika kita mengabaikan ketaatan untuk beribadah lebih giat kepada Allah swt.
Maka sebagaimana yang disabdakan kanjeng Nabi Muhammad saw bahwa sifat dan rasa malu itu adalah sebagian dari iman, malu itu tidak akan mendatangkan kecuali kebaikan. Rasa malu merupakan pangkal dari akhlak mulia, yang mampu meretas keinginan untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan.
Oleh karena itu, malu merupakan sifat warisan para Nabi terdahulu, yang tidak pernah dihapuskan dari syari’at para nabi. Sehingga kewajiban kita saat ini adalah berpegang teguh meneladani syari’at para nabi yaitu menjaga sifat malu, berhias dan berakhlak dengan sifat malu.
Dengan demikian warisan para Nabi ini senantiasa ada di antara kita, sifat dan rasa malu menjadi solusi demi terciptanya kemakmuran kehidupan, menentramkan jiwa, melahirkan kebaikan dan kebenaran serta menjadi akhlak utama sebagai hamba yang beriman dan bertaqwa Kepada Allah swt Sang Maha Pencipta alam semesta.
Kesimpulanya, bahwa sifat malu jika dijaga akan menjadi akhlak mulia, menjadi pribadi yang tenang dan berhati-hati dalam setiap ucapan dan tindakan, mengantarkan kepada derajat keimanan yang tertinggi serta melahirkan rasa syukur terhadap semua nikmat yang diberikan Allah swt.
Dalam kontek ibadah puasa Ramadhan, rasa malu akan mampu menjadi penjaga kita dari perilaku kejelekan dan perbuatan hina. Hal ini senada dengan apa yang menjadi hakikat kita berpuasa yaitu melatih mengendalikan diri, hawa nafsu dan amarah.
Tugas kita sebagai orang tua, pendidik, guru, ustadz/dzah adalah menginstalkan sifat malu, rasa malu secara benar kepada anak-anak kita, agar sejak dini dilatih, dibiasakan, diberikan edukasi, diberikan contoh dan makna sifat malu dalam keseharian sebagai hamba Allah swt yang taat dansebagai makhluk sosial yang berbudi luhur dengan sesama dan lingkungannya.
Dari tulisan singkat ini, mari kita meredefinisikan istilah “rasa malu” bahwa rasa malu itu positif (akhlak mulia) bukan berkonotasi negatif. Lawan kata rasa malu itu buka percaya diri. Karena jika lawan kata rasa malu dipahami dengan percaya diri maka malu akan berkonotasi negatif. Sebenarnya, kata percaya diri itu lawan katanya adalah minder (merasa rendah diri).
Adapun lawan kata rasa malu yang tepat adalah binal/ganjen/genit. Sehingga, bisa dipahami bahwa jika anak belum tumbuh percaya diri jangan katakan “kamu itu malu-maluin” karena itu menunjukkan rasa malu menjadi negatif. Malu itu akhlak dan minder itu kompetensi. Maka jika anak kita belum mampu untuk menampilkan atau unjuk kerja sesuatu yang kita minta, bisa jadi kompetensi tentang hal yang kita minta belum dikuasai dengan baik oleh anak-anak kita.
Dan kita juga perlu waspada dengan kepercayaan diri yang ada pada diri anak-anak kita. Jangan-jangan itu bukan rasa kepercayaan diri yang sesungguhnya sebagai cerminan kompetensi, namun bisa jadi itu perilaku binal/ganjen/genit yang mendominasinya.
Maka kita harus bijak dan konsisten melatih menumbuhkan kepercayaan diri anak-anak kita dengan memperbaiki kompetensinya dan tetap menghargai dan menjaga rasa malu yang ada dalam dirinya sebagai potensi fitroh kebaikannya. Wallaahu a’lamu bishawaab………
Pandi Kuswoyo, M.Pd.I
Kepala Sekolah SDIT Salsabila 3 Banguntapan.
Tulisan ini dimuat dalam buletin Darul ‘Ilmi edisi Maret 2024. Darul ‘Ilmi adalah sebuah buletin bulanan yang diterbitkan oleh perpustakaan SDIT Salsabila 3 Banguntapan.