Foto : Satpam sekolah membantu menyebrangkan siswa.
Diantara sifat yang harus ada dalam diri seorang guru adalah watak rendah hati atau tawadhu’. Tawadhu’ adalah cerminan suasana batin yang tidak merasa besar dan lebih di hadapan orang lain. Tawadhu’ artinya rendah hati, lawan dari sombong. Orang yang rendah hati tidak memandang dirinya lebih dari orang lain. Sedangkan orang yang sombong menghargai dirinya secara berlebihan.
Rendah hati tidak sarna dengan rendah diri, karena rendah diri berarti kehilangan kepercayaan diri. Sekalipun dalam praktik orang yang rendah hati cenderung rnerendahkan dirinya di hadapan orang lain, tapi sikap tersebut bukan lahir dari rasa tidak percaya diri.
Sebab itu Rasulullah mengingatkan:
إِنَّ اللهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ، وَلَا يَبْغِي أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ (رواه مسلم)
”Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar bersikap tawaddhu’ (merendahkan diri), hingga seorang tidak menyombongkan dirinya dihadapan orang lain dan tidak saling menganiaya”. (HR Muslim, No: 2865)
Orang tawadhu adalah orang yang tidak memandang ada kelebihan pada dirinya tinimbang orang lain. Kendati nyatanya dia mendapatkan banyak karunia yang Allah berikan. Secara faktual, hidup manusia memiliki keragaman, mulai dari segi fisik, akhlak, kecerdasan, status sosial, kekayaan dan sebagainya. Jika dibuat stratifikasi, ada yang statusnya di bawah rerata, normal, hingga di atas rerata.
Orang yang tawadhu’ menyadari bahwa kaya, sehat, cantik, cerdas, dan berbagai karunia lainnya adalah ujian. Demikian pula, miskin, sakit, jelek, bodoh dan lainnya adalah ujian. Ada ujian berupa kebaikan, ada pula keburukan. Allah hendak melihat siapa diantara kita yang lulus dan kelak mendapat balasan karunia, atau sebaliknya gagal dan menerima sanksi.
Manusia adalah makhluk lemah yang tidak berarti apa-apa di hadapan Allah SWT. Manusia membutuhkan karunia, ampunan dan rahmatNya. Tanpa rahmat, karunia dan nikrnat dari-Nya, manusia tidak akan bisa bertahan hidup, bahkan tidak akan pernah ada di muka bumi. Dia menyadari bahwa apa pun yang dia miliki, baik rupa yang cantik, ilmu, harta kekayaan, maupun pangkat dan kedudukan dan lainnya, semua adalah karunia Allah SWT.
Dengan kesadaran seperti ini, tidak pantas bagi dirinya untuk menyornbongkan diri. Karenanya, tidak alasan untuk melihat kelebihan diri dari orang lain. Bahkan ketika dia melihat kekurangan seseorang, segera ia mencari kelebihan yang mungkin ada pada orang itu.
Cara berpikir inilah yang melahirkan sikap tawadhu’ (rendah hati) dan kasih sayang. Setiap bertemu seseorang lalu dia melihat kekeliruan dan kesalahan, mereka pasti berusaha sekuat tenaga untuk membimbing serta mengajari dengan ilmu-ilmu yang mereka miliki. Namun, saat mereka kembali memeriksa dirinya, mereka mengetahui sedemikian banyaknya borok yang harus disembuhkan dan diobati. Mereka terus berdakwah dan mengajar, tapi di saat bersamaan tidak jemu-jemunya beristighfar dan bertaubat.
Akhlak inilah yang kini banyak ditinggalkan. Banyak orang yang matanya sangat tajam menyelisik kekurangan orang lain, tetapi hidungnya gagal mencium aroma kebusukan dirinya. Oleh karenanya, jangan pernah membesarkan diri di hadapan siapa pun. Yakni, mereka pasti punya kelebihan dibanding kita. Ingat, betapa banyak orang meremehkan Umar bin Khatthab pada masa kafirnya, namun ketika hidayah telah meresap ke hatinya maka derajat seluruh kaum muslimin pun dilampauinya, kecuali Abu Bakar.
Bila melihat orang bodoh, katakan pada diri sendiri, “Ia bermaksiat kepada Allah dengan kebodohannya, sedangkan aku durhaka dengan ilmu. Ia lebih pantas untuk dimaafkan dibanding diriku.” Bila melihat orang berilmu, katakan pada diri sendiri, “Ia mengetahui apa yang tidak aku ketahui. Bagaimana mungkin aku menyamainya?” Bila melihat orang kafir, katakan pada diri sendiri, “Aku tidak tahu bahwa boleh jadi ia diakhir kehidupannya dia masuk Islam sedangkan aku justru diakhiri seperti keadaannya saat ini.”
Tawadhu’ akan membimbing kita menuju sikap khawatir dan takut jika tertimpa keburukan, sehingga kita selalu waspada, tidak henti-hentinya memperbaiki diri, dan terjauh dari kelalaian. Sebab itu, kerendahan hati akan mendatangkan kebaikan dan kemuliaan. Inilah rumus paradok dalam kehidupan. Sebab ternyata, seringkali kebenaran itu justru berkebalikan dengan penampakan.
Rasulullah bersabda:
مَنْ تَوَاضَعَ لِلهِ رَفَعَهُ اللهُ وَمَنْ تَكَّبَرَ وَضَعَهُ اللهُ.
“Siapa yang tawadhu’ karena Allah, maka Allah akan mengangkat (derajat) nya (di dunia dan akhirat), dan siapa yang sombong maka Allah akan merendahkannya.” (HR. Muslim no. 2588).
Justru dengan menunduk, Allah akan mengangkat derajat seseorang. Sebaliknya, ketika orang mengangkat diri, Allah merendahkannya. Inilah paradoks. Bukankah air mengalir ke lembah justru karena posisinya yang lebih rendah dari yang lain? Bukankah sebagian nikmat justru menjadi penyebab datangnya penyakit, sebagaimana sesuatu yang menyakitkan adakalanya menjadi obat. Bukankah kemenangan tidak selalu dalam posisi di atas dan berkuasa? Bukankah sedekah itu hakekatnya bertambah meski realitasnya berkurang?
Kesadaran inilah yang harus ada dalam diri kita, wahai para pejuang SPA Indonesia. Tidak seorang pun di dunia yang suka menyaksikan orang-orang yang sombong. Orang sombong selalu menganggap dirinya benar dan lebih dari yang lain. Dia anti kritik dan menolak nasehat orang lain. Dia menutup mata terhadap kelemahan dirinya. Dia menutup telinga kecuali untuk mendengarkan pujian. Allah murka kepada mereka yang sombong, sebagaimana Iblis yang terusir dan terlaknat karena dosa kesombongan. Maka…. Rendahkan hati, tudukkan diri bahkan andai pun orang tahu bahwa Anda memiliki banyak karunia dan prestasi.
Sleman, 15 Februari 2024
Imam Khoiri
Sekretaris Umum Yayasan SPA Indonesia